Info&tanya jawab

Sabtu, 29 Juni 2019

Revitalisasi Sastra Lisan, Sebuah Pembelajaran dari Desa Horinara

Foto: David Klawes
Orang tua dan muda berbaur menjadi satu di halaman tengah kampung Horinara pada Sabtu, (29/6/2019). Para pelajar pria, yang apresiasi budayanya sedang tumbuh, tampak tengah menampilkan gerak tari hedung. Properti yang mereka kenakan menunjukkan kepribadian seorang ksatria. Gerakan tubuh luwes mengikuti irama musik gong dan gendang. Siang dengan matahari nan terik tetap tak menyurutkan semangat mereka.
 Gerakan dengan irama yang hidup ini seolah menampilkan semangat zaman yang berderap. Melangkah dari masa lampau ke masa depan dalam spirit yang tak pernah surut: keksatriaan, optimisme, daya juang, kemauan dan penghargaan. Semuanya terpatri pula dalam syair syair berirama. Sastra adiluhung yang terwaris bagai estafet dari generasi ke generasi.
 Itulah sejatinya generasi penerus. Menatap optimis fajar budi, sambil tetap berpegang pada keluhuran warisan budaya. Dan warisan itu tetap dihidupi. Diserap maknanya, sambil diberi warna baru selaras zaman.
 Di bawah payung besar budaya Nusantara, sastra lisan Lamaholot pun mesti tegak eksistensinya. Olehnya, badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud pun tampil sebagai pembina bagi perkembangan kesusasteraan lisan ini. Disponsori oleh pihak Kemendikbud, pentas budaya Lamaholot digelar dengan meriah hari ini di Horinara di bawah tajuk "Revitalisasi Sastra Berbasis Komunitas".
 Mengapa di Horinara? Di Horinara, pagelaran seni tradisi kerap dihelat selama ini. Event bersifat spontanitas, dijadikan panggung kesenian ala orang kampung. Pelaksanaannya rutin berlangsung hampir setiap tahun. Kaum muda menjadikannya sebagai kesempatan belajar melantunkan syair-syair sastra daerah bersama kaum tua. Sementara komunitas adat menjadikan sebagai ajang untuk merawat totalitas dan daya hidup masyarakat. Juga dijadikan cermin untuk melihat kembali modal sosial budaya dan jatidiri kolektif.
 Selain melibatkan para pelantun syair yang hadir dari komunitas adat setempat, para pekerja budaya dari dua sanggar seni turut digandeng. Sanggar Nara Baran di desa Horinara dan Sanggar Mura Lewo di desa Karing Lamalouk. Tarian massal pun digelar. Menampilkan dolo-dolo berbalas pantun, lia namang dan sole.
 Sesungguhnya, peristiwa budaya secara kolosal kalau jarang dilakukan akan menghilangkan kemampuan bekerjasama dan penyesuaian diri satu terhadap yang lain. Sedikit demi sedikit, anggota komunitas akan makin jauh dari penghayatan sebagai sesama saudara yang sehati sejiwa, dan bahkan merasa galau mempertanyakan identitas sebagai orang tua dan orang muda. Komunitas tak menginginkan hal seperti itu bukan? Karenanya, mari rawat dan hidupi bersama tradisi Lewotana. (Teks: Amber Kebelen, Simpet)
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar